Hai. Halo. Masih tentang memilih dan memutuskan nih.
Langsung aja deh..
Tulisan tempo hari, saya lupa tidak memasukkan dua pokok penting tentang memilih dan memutuskan euy. Yaitu, “konfirmasi” dan “komitmen”.
Konfirmasi. Ketika sudah memilih dan memutuskan, kadang-kadang masih ada keraguan apakah keputusan saya tepat. Biasanya, saya perlu konfirmasi.
Konfirmasi itu semacam penegasan saja. Bisa berupa peristiwa kecil seperti sinyal. Atau, kode. Yang menurut saya, berasal dari Allah.
Bukan peristiwa saja sih, bisa juga sebuah persetujuan yang terucap melalui bos alias atasan, orang tua, atau barangkali teman.
Ketika saya memutuskan pindah agama, konfirmasi berasal dari seorang pastur. Hati bimbang dan ragu apakah keputusan saya tepat, lalu saya menemui pastur bersama pacar (yang sekarang menjadi istri saya).
Setelah diskusi panjang lebar dan saya jelaskan latar belakang serta konteks yang saya alami, intinya, dia oke. Tentu saja ada “hukuman” yang harus saya jalani (yang tak perlu saya bahas di sini).
Oke kembali ke konfirmasi dan komitmen.
Konfirmasi bisa juga bersumber dari atasan. Kalau kita sudah memilih namun atasan tak mengizinkan, artinya pilihan tersebut belum terkonfirmasi. Nah, ada baiknya kita perlu rendah hati dan menerima bahwa pilihan kita tak terkonfirmasi.
Rendah hati bahwa hasil pilihan tak terkonfirmasi oleh seseorang yang sudah berpengalaman dan tentu saja punya banyak pertimbangan yang barangkali kita harus patuh karena berhubungan dengan kepentingan banyak orang.
Yang kedua adalah komitmen.
Saya juga lupa bilang di tulisan “Memilih dan Memutuskan“. Setelah kita memilih dan memutuskan, dan mantap. Tak ada salahnya menjadikannya sebagai sebuah komitmen.
Misalnya, saya sudah bulat-bulat-sepakat-nekat memilih seorang pacar menjadi istri. Ya, tidak usah lagi di kemudian hari menerima “godaan” setan yang mencoba-coba membujuk kita untuk kembali ke proses memilih sebelumnya. Katakanlah, muncul pertanyaan pilihan: apakah dia istri yang tepat ya?
Lucu kan. Sudah jadi istri tapi meladeni pertanyaan pilihan seperti itu. Kenapa masih harus bertanya ke diri sendiri apakah dia istri yang tepat? Apa tidak ada lagi cinta? Soal ini (cinta, maksudnya) nanti deh saya bahas di tulisan yang lain.
Maka, apa yang sudah kita pilih, baik adanya kita jadikan komitmen. Komitmen bagus untuk kesehatan dan harga diri.
Eh, namun, pada konteks tertentu, bukan berarti tidak perlu di-review sih. Ada kalanya, kita juga perlu me-review.
Waktu saya bertugas sebagai guru di sekolah Kanisius, ada metode bagus: aksi, evaluasi, refleksi. Ini bagian dari lingkaran di mana kita selalu me-review.
Bagus untuk kesehatan.