Belakangan, saya sering berjumpa dengan teman yang bercerita (dan bertanya) tentang bagaimana menentukan pilihan yang tepat di antara banyak pilihan.
Hari kemarin, dan beberapa hari sebelumnya, teman satu kantor dan istri saya juga bercerita tentang persoalan yang dia hadapi. Juga tentang opsi-opsi yang harus dia pilih.
Tak terkecuali, hari ini. Seorang teman −yang juga satu kantor− tiba-tiba bercerita tentang kisahnya: apakah dia harus putus dengan pacarnya atau tidak.
Intinya, ujung-ujungnya, tentang memilih dan memutuskan. Bahasa kerennya, mengambil keputusan. Cie, kayak hakim.
Tapi memang benar. Mirip seperti hakim (menurut saya).
Dia bingung, apakah harus melanjutkan hubungan dengan pacar atau harus putus. Bagi sebagian orang, pun bagi saya, tampaknya bukan perkara sulit.
Tapi, tunggu.
Masing-masing orang berbeda. Unik. Peristiwa dan problem masing-masing orang tidak sama antara yang satu dengan yang lain. Demikian pula dengan konteks mengambil keputusan.
Maka, saya mencoba tulus mendengarkan cerita dia.
(Percayalah. Soal memilih dan memutuskan, saya juga masih banyak belajar.)
Saya tidak akan menceritakan bagaimana kisah dia dengan pacarnya. Cukup, saya akan berbagi tentang cara, teknik, strategi, metode −atau apapun namanya− tentang memilih dan memutuskan.
Oke. Pertama-tama, pada dasarnya, metode memilih dan memutuskan banyak modelnya. Kita hanya tinggal memilih mana yang paling terbaik dan cocok buat kita. Kali ini, saya juga akan bercerita hanya pada apa yang cocok dan pas buat saya.
Tapi, sebelum cerita tentang cara, saya akan bercerita dulu tentang konteks peristiwa atau opsi-opsi. Setidaknya, ada tiga model opsi atau peristiwa yang menuntut kita memilih dan memutuskan.
Pertama, peristiwa atau opsi yang kita bisa tangani dengan memilih seketika. Peristiwa di mana ada pilihan yang kita tidak menuntut berlama-lama memilih. Misalnya, di perempatan jalan, lampu lalu lintas menyala hijau. Tentu saja, kita langsung jalan. Ya kan?
Kedua, peristiwa yang butuh kita tenang sejenak, menimbang, atau berpikir dua hingga tiga kali baru kemudian pilihan mana yang harus kita pilih pelan-pelan menjadi jelas.
Ketiga, peristiwa atau opsi-opsi yang sangat sulit kita pilih. Sumir. Gelap. Susah. Bahkan, tampak mustahil untuk kita menentukan pilihan.
Hmm.. apa ya contohnya? Oh! Pekerjaan misalnya. Atau, menikah. Atau, sekolah lagi? Atauu.. pindah agama? Hahaha.
Apapun itu, ketika memilih dan memutuskan, saya biasanya memperhatikan proses. Kualitas proses memilih dan memutuskan, sangatlah esensial. Semakin kualitas prosesnya bagus, semakin saya merasa keputusan yang saya ambil sudah tepat.
Oke. Mari saya ceritakan metode memilih dan memutuskan yang menurut saya pas dan mujarab bagi saya:
(1) Libatkan Sang Pencipta. Allah.
Artinya, saya harus tenang dan berdoa. Dalam hal ini, saya percaya Allah selalu bisa diandalkan. Bagi saya, berdoa adalah alat ampuh, tidak hanya kita bisa tenang, tetapi juga membuka diri atas kehendak-Nya. Yoih, letakkan dulu dan cerita ke Dia kalau kita sedang mengadapi sesuatu alias mengalami sesuatu penting yang butuh pendapatNya.
(2) Merdeka. Bebas. Hmm.. Netral. Mungkin “netral” kata yang pas. Biasanya, sebelum memutuskan, saya akan membuat diri saya merdeka, bebas, dan netral.
Saya akan melepaskan semua tendensi, asumsi, bahkan prediksi. Apalagi, prediksi tentang apa reaksi orang-orang lain. Lepaskan!
Saya akan membuat diri saya sebebas mungkin dan “berada di tengah”. Selayaknya pendulum timbangan bebek yang seimbang tanpa pengaruh, baik pengaruh beban di sebelah kanan maupun kiri. Free!
(3) Mengumpulkan data. Selayaknya hakim. Mengumpulkan data, baik bukti maupun saksi-saksi.
Pengumpulan data dan fakta-fakta seputar opsi sangat penting bagi saya untuk menentukan mana yang bisa saya pilih. Ini membantu saya memilih dan memutuskan.
(4) Setelah itu, saya akan membuat daftar. List.
Kalau saya, biasanya daftar itu akan saya tulis di selembar kertas atau buku catatan. Dari dua pilihan misalnya, saya akan membuat daftar efek-efek, mana positif dan mana yang negatif. Masing-masing saya buat daftarnya. Positif dan negatif.
Yang pasti, daftar ini membuat saya bebas dan merdeka dari ambisi untuk memilih yang paling sempurna.
Ngomong-omong, saya selalu sadar, setiap pilihan pasti ada risiko. Tidak ada yang sempurna. Saya barus sadar, tidak ada pilihan sempurna. Semua efek selalu ada positif dan negatif.
(5) Membuat daftar adalah cara paling sederhana dan melibatkan sisi rasionalitas. Sesuatu yang kita pikirkan dan timbang-timbang dengan akal sehat.
Nah, kalau membuat daftar masih sulit, bagaimana? Biasanya, saya akan melibatkan unsur imajinasi:
(a) Saya akan mengimajinasikan bertemu seseorang yang tak saya kenal sebelumnya. Seseorang yang asing. Yang datang membawa list atau daftar. Dan saya akan memberi nasihat ke dia tentang daftar yang dia bawa. (Ya, daftar itu adalah daftar yang saya buat sebelumnya sih. Haha.)
(b) Kalau masih sulit, saya biasanya juga mengimajinasikan sosok ideal saya. Saya membayangkan sebuah sosok yang menurut saya ideal. Hebat. Sosok sempurna (ingat, tidak ada yang sempurna, hai, SecretNeedWords). Ya! Setelah itu, saya akan meminta nasihatnya. Kira-kira dia akan memilih atau bersikap bagaimana.
(c) Imajinasi tentang saya yang mau mati. Imajinasi tentang saya seolah-olah ada di sakratul maut. Kalau saya milih A, dampaknya apa ketika saya mau mati. Atau kalau memilih B, adakah penyesalan yang muncul ketika saya mau mati.
(d) Imajinasi tentang kiamat. Tentang penghakiman terakhir. Kalau saya milih A, kira-kira Dia akan menghukum saya atau saya akan dapat hukuman apa ya? Kalau milih B, bagaimana ya? Demikian seterusnya. Biasanya saya bahkan sampai ke imajinasi tentang kiamat ini. Hahaha. Singkat kata, apa yang harus saya pilih namun sesuai dengan kehendakNya?
Pertanyaannya, apakah memilih putus dengan pacar atau tidak, harus sampai berimajinasi tentang kiamat? Silakan pilih metode yang menurut kamu pas.
Sekian sharing saya. Terima kasih.
I SHARE THIS BECAUSE OF "WHY NOT?"
Like this:
Like Loading...