Menjajal Milenial

Saya mau kasih judul tulisan ini “Menjual ke Millennials”. Tapi enggak jadi.

Idenya dari pengalaman dua kali bertemu Lambang Geni, pemilik Café Djagongan Djadoel, di Wonosobo, Jawa Tengah. Panggilannya, koko Geni.

Baru sebulan café itu buka. Saya tahu karena koko Geni ngasih tahu.

Awalnya, sama sekali enggak kepikiran mau ngobrol dan mengenal si pemilik yang sekaligus barista di Djagongan Djadoel itu. Biasa saja. Saya ingin nyicipi kopi Wonosobo. Udah, gitu aja.

Setelah dari alun-alun, saya berjalan ke arah utara lalu melewati sebuah café yang ramai sekali. Padahal, café itu kayak rumah biasa. Bukan bangunan layaknya sebuah restoran. Atau, bergaya modern, atau design unik dan khas, atau istilahnya, kontemporer-lah.

Lampunya juga enggak terang-terang amat. Dari depan, lebarnya kira-kira 6,5 meter. Ke belakang sekitar delapan meter. Sebuah café yang tampaknya memanfaatkan ruang tamu dan ruang keluarga sebuah rumah.

Lokasinya tepat di depan Masjid Al-Manshur. Malah mirip seperti warung-warung sederhana yang jual nasi dan sayur-lauk-pauk.

Sebentar.. Klik ini aja deh kalau mau pengen lihat detil: Djagongan Djadoel.

Lalu, saya mampir. Masuk. Saya pesan Vietnam Drip, istri saya pesan Piccolo.

∗∗∗

Kopi saya belum datang. Kopi istri sudah. Dia cicipi.

Kata dia, enak sekali. Malah, dia bilang, −mukanya sambil berubah seperti bersinar− rasa kopinya lebih lezat dari kopi yang dijual di café-café di Italia yang mahal.

Ya, saya mau percaya sih karena dia memang pernah kuliah di Italia. Cuma, mana mungkin dia mau keluar duit banyak hanya untuk sebuah kopi? Hahaha.

Ukuran “café mahal” menurut dia juga belum tentu pas dengan “mahal ukuran saya”. Lagipula, dia kuliah di Rende, Italia selatan, yang mana Rende itu adalah daerah pedesaan alias harga kopinya tentu tak semahal di daerah kota seperti Milan, Italia utara.

Maka, saya cicipi saja Piccolo-nya.

Luar biasa! Enak sekali!

Tak berapa lama, Vietnam Drip saya datang. Dan pas! Kopinya enak. (Anda memang boleh tidak percaya saya karena saya juga newbie soal kopi. Semacam makhluk baru di alam kopi. Tapi, percayalah, lidah saya punya standar dan bisa membedakan mana kopi enak dan mana yang tidak enak!)

Seketika itu juga, saya mendatangi si barista lalu pesan Cappuccino, Caffe Latte, dan Piccolo Latte. Kami ngobrol. Dan gilak! Semuanya, tiga jenis kopi yang saya pesan, memang enak.

Pantas saja café Djagongan Djadoel rame, pikir saya pada mulanya dan spontan.

∗∗∗

Koko Geni adalah lulusan sekolah barista Esperto Barista, milik Franky Angkawijaya. Saya tahu karena di dinding sebelah kiri dekat meja bar (pembatas antara tempat saya duduk dengan koko Geni yang super sibuk meracik kopi di belakang meja) terpampang sertifikat barista dari Esperto Barista bertulis “Lambang Geni” dan tulisan pernyataan LULUS sebagai barista. Sebuah sertifikat yang dipigura dan mudah dilihat pengunjung yang sedang duduk di meja bar.

Sembari dia membuat tiga jenis kopi pesanan saya, kami ngobrol. Dari dia, saya tahu tiga hal: Djagongan Djadoel tak punya WiFi, koko Geni punya dua bisnis lain selain café (tekstil dan bengkel), dan dia hobi motocross.

Jelas, bahwa dia pengusaha. Juga jelas bahwa bisnis café merupakan hasil eksperimen sebuah passion yang kemudian dia implementasikan dan yakin bisa berbisnis café setelah menggenggam sertifikat dari Esperto Barista.

Yang menarik perhatian saya adalah WiFi.

Saya tanya, kenapa tidak memasang WiFi. Padahal, semua pengunjungnya adalah anak muda. Dia cerita, sesuai nama alias brand, Djagongan Djadoel, dia sengaja tak memasang WiFi.

Dalam Bahasa Jawa, djagongan berarti duduk-duduk sambil mengobrol. Jadoel, maksudnya tempo dulu atau sangat lama. Sesuai brand, koko Geni bilang, WiFi akan membawa efek buruk. Pengunjung tak akan saling mengobrol.

Intinya, menjauhkan dari makna brand itu sendiri kalau dia memberi fasilitas WiFi. Pengunjung akan sibuk dengan gadget atau smartphone masing-masing. Alhasil, tak ada lagi obrolan. Tak ada lagi sharing dan cerita.

Nah, koko Geni tak mau fenomena itu terjadi di cafénya.

Di dalam hati dan otak saya menggumam: memang, tak memberi akses WiFi adalah pilihan si koko menerapkan strategi marketing dan branding. Koko Geni juga punya idealisme melawan efek negatif smartphone alias gadget. Koko ingin menebar dan mengajari kebiasaan lama yang positif efeknya.

Tapi, si koko rupanya juga sudah mengabaikan siapa konsumennya. Mereka adalah kaum milenial. Waktu itu, di pertemuan pertama, saya menerka-terka, keramaian cafénya pasti lambat-laun akan berkurang dan harga produknya naik.

Demikianlah pertemuan pertama dengan koko Geni yang rasa kopi dan obrolan dengannya mengendap di memori saya. Rasa dan obrolan itu pula yang membuat saya kembali ke sana delapan bulan kemudian.

Waktu itu adalah malam minggu. Setelah depalan bulan, saya mampir lagi. Sayang, koko Geni tak ada di lokasi. Kata barista yang bertugas saat itu, koko Geni sedang lomba motocross di Waduk Wadaslintang.

Dan betul dugaan saya. Pengunjung tak seramai sebelumnya ketika saya pertama kali ke Djagongan Djadoel yang baru buka sekitar satu bulan. Lalu, saya lihat menu. Dan betul, rupanya si koko menaikkan harga Rp 3.000 s/d Rp 3.500 untuk setiap produk di menu.

Asumsi saya: pasti koko belum memasang WiFi.

Dan betul, WiFi belum ada. Menurut saya, karena tidak ada WiFi, pengunjung turun. Lalu, karena pengunjung turun –sementara gaji pegawai sudah waktunya naik–, si koko pun mengerek harga.

Koko yang mencoba merintis bisnis kopi, saya rasa, selain menciptakan produk berkualitas (dan sudah berhasil), penting juga meriset daerah (geografis), segmentasi pembeli potensial, dan kebiasaan kaum milenial yang adalah calon konsumen terbesar di Wonosobo. Perlu kiranya koko Geni mencoba mengenali dunia anak muda, menjajal masuk ke dunia kaum milenial.

Melihat pengalaman koko Geni yang ingin menerapkan dan menyesuaikan strategi marketing dengan brand, mungkin benar kalau ada pendapat: reputasi brand sering kali tidak ditentukan oleh (pemilik) usaha atau perusahaan. Nasib brand ada di tangan konsumen. Konsumen-lah yang punya kekuasaan terhadap brand.

Bersambung ke tulisan “Klasifikasi Milenial” – to be continued..

Konfirmasi & Komitmen

Hai. Halo. Masih tentang memilih dan memutuskan nih.

Langsung aja deh..

Tulisan tempo hari, saya lupa tidak memasukkan dua pokok penting tentang memilih dan memutuskan euy. Yaitu, “konfirmasi” dan “komitmen”.

Konfirmasi. Ketika sudah memilih dan memutuskan, kadang-kadang masih ada keraguan apakah keputusan saya tepat. Biasanya, saya perlu konfirmasi.

Konfirmasi itu semacam penegasan saja. Bisa berupa peristiwa kecil seperti sinyal. Atau, kode. Yang menurut saya, berasal dari Allah.

Bukan peristiwa saja sih, bisa juga sebuah persetujuan yang terucap melalui bos alias atasan, orang tua, atau barangkali teman.

Ketika saya memutuskan pindah agama, konfirmasi berasal dari seorang pastur. Hati bimbang dan ragu apakah keputusan saya tepat, lalu saya menemui pastur bersama pacar (yang sekarang menjadi istri saya).

Setelah diskusi panjang lebar dan saya jelaskan latar belakang serta konteks yang saya alami, intinya, dia oke. Tentu saja ada “hukuman” yang harus saya jalani (yang tak perlu saya bahas di sini).

Oke kembali ke konfirmasi dan komitmen.

Konfirmasi bisa juga bersumber dari atasan. Kalau kita sudah memilih namun atasan tak mengizinkan, artinya pilihan tersebut belum terkonfirmasi. Nah, ada baiknya kita perlu rendah hati dan menerima bahwa pilihan kita tak terkonfirmasi.

Rendah hati bahwa hasil pilihan tak terkonfirmasi oleh seseorang yang sudah berpengalaman dan tentu saja punya banyak pertimbangan yang barangkali kita harus patuh karena berhubungan dengan kepentingan banyak orang.

Yang kedua adalah komitmen.

Saya juga lupa bilang di tulisan “Memilih dan Memutuskan“. Setelah kita memilih dan memutuskan, dan mantap. Tak ada salahnya menjadikannya sebagai sebuah komitmen.

Misalnya, saya sudah bulat-bulat-sepakat-nekat memilih seorang pacar menjadi istri. Ya, tidak usah lagi di kemudian hari menerima “godaan” setan yang mencoba-coba membujuk kita untuk kembali ke proses memilih sebelumnya. Katakanlah, muncul pertanyaan pilihan: apakah dia istri yang tepat ya?

Lucu kan. Sudah jadi istri tapi meladeni pertanyaan pilihan seperti itu. Kenapa masih harus bertanya ke diri sendiri apakah dia istri yang tepat? Apa tidak ada lagi cinta? Soal ini (cinta, maksudnya) nanti deh saya bahas di tulisan yang lain.

Maka, apa yang sudah kita pilih, baik adanya kita jadikan komitmen. Komitmen bagus untuk kesehatan dan harga diri.

Eh, namun, pada konteks tertentu, bukan berarti tidak perlu di-review sih. Ada kalanya, kita juga perlu me-review.

Waktu saya bertugas sebagai guru di sekolah Kanisius, ada metode bagus: aksi, evaluasi, refleksi. Ini bagian dari lingkaran di mana kita selalu me-review.

Bagus untuk kesehatan.

Memilih dan Memutuskan

Belakangan, saya sering berjumpa dengan teman yang bercerita (dan bertanya) tentang bagaimana menentukan pilihan yang tepat di antara banyak pilihan.

Hari kemarin, dan beberapa hari sebelumnya, teman satu kantor dan istri saya juga bercerita tentang persoalan yang dia hadapi. Juga tentang opsi-opsi yang harus dia pilih.

Tak terkecuali, hari ini. Seorang teman −yang juga satu kantor− tiba-tiba bercerita tentang kisahnya: apakah dia harus putus dengan pacarnya atau tidak.

Intinya, ujung-ujungnya, tentang memilih dan memutuskan. Bahasa kerennya, mengambil keputusan. Cie, kayak hakim.

Tapi memang benar. Mirip seperti hakim (menurut saya).

Dia bingung, apakah harus melanjutkan hubungan dengan pacar atau harus putus. Bagi sebagian orang, pun bagi saya, tampaknya bukan perkara sulit.

Tapi, tunggu.

Masing-masing orang berbeda. Unik. Peristiwa dan problem masing-masing orang tidak sama antara yang satu dengan yang lain. Demikian pula dengan konteks mengambil keputusan.

Maka, saya mencoba tulus mendengarkan cerita dia.

(Percayalah. Soal memilih dan memutuskan, saya juga masih banyak belajar.)

Saya tidak akan menceritakan bagaimana kisah dia dengan pacarnya. Cukup, saya akan berbagi tentang cara, teknik, strategi, metode −atau apapun namanya− tentang memilih dan memutuskan.

Oke. Pertama-tama, pada dasarnya, metode memilih dan memutuskan banyak modelnya. Kita hanya tinggal memilih mana yang paling terbaik dan cocok buat kita. Kali ini, saya juga akan bercerita hanya pada apa yang cocok dan pas buat saya.

Tapi, sebelum cerita tentang cara, saya akan bercerita dulu tentang konteks peristiwa atau opsi-opsi. Setidaknya, ada tiga model opsi atau peristiwa yang menuntut kita memilih dan memutuskan.

Pertama, peristiwa atau opsi yang kita bisa tangani dengan memilih seketika. Peristiwa di mana ada pilihan yang kita tidak menuntut berlama-lama memilih. Misalnya, di perempatan jalan, lampu lalu lintas menyala hijau. Tentu saja, kita langsung jalan. Ya kan?

Kedua, peristiwa yang butuh kita tenang sejenak, menimbang, atau berpikir dua hingga tiga kali baru kemudian pilihan mana yang harus kita pilih pelan-pelan menjadi jelas.

Ketiga, peristiwa atau opsi-opsi yang sangat sulit kita pilih. Sumir. Gelap. Susah. Bahkan, tampak mustahil untuk kita menentukan pilihan.

Hmm.. apa ya contohnya? Oh! Pekerjaan misalnya. Atau, menikah. Atau, sekolah lagi? Atauu.. pindah agama? Hahaha.

Apapun itu, ketika memilih dan memutuskan, saya biasanya memperhatikan proses. Kualitas proses memilih dan memutuskan, sangatlah esensial. Semakin kualitas prosesnya bagus, semakin saya merasa keputusan yang saya ambil sudah tepat.

Oke. Mari saya ceritakan metode memilih dan memutuskan yang menurut saya pas dan mujarab bagi saya:

(1) Libatkan Sang Pencipta. Allah.

Artinya, saya harus tenang dan berdoa. Dalam hal ini, saya percaya Allah selalu bisa diandalkan. Bagi saya, berdoa adalah alat ampuh, tidak hanya kita bisa tenang, tetapi juga membuka diri atas kehendak-Nya. Yoih, letakkan dulu dan cerita ke Dia kalau kita sedang mengadapi sesuatu alias mengalami sesuatu penting yang butuh pendapatNya.

(2) Merdeka. Bebas. Hmm.. Netral. Mungkin “netral” kata yang pas. Biasanya, sebelum memutuskan, saya akan membuat diri saya merdeka, bebas, dan netral.

Saya akan melepaskan semua tendensi, asumsi, bahkan prediksi. Apalagi, prediksi tentang apa reaksi orang-orang lain. Lepaskan!

Saya akan membuat diri saya sebebas mungkin dan “berada di tengah”. Selayaknya pendulum timbangan bebek yang seimbang tanpa pengaruh, baik pengaruh beban di sebelah kanan maupun kiri. Free!

(3) Mengumpulkan data. Selayaknya hakim. Mengumpulkan data, baik bukti maupun saksi-saksi.

Pengumpulan data dan fakta-fakta seputar opsi sangat penting bagi saya untuk menentukan mana yang bisa saya pilih. Ini membantu saya memilih dan memutuskan.

(4) Setelah itu, saya akan membuat daftar. List.

Kalau saya, biasanya daftar itu akan saya tulis di selembar kertas atau buku catatan. Dari dua pilihan misalnya, saya akan membuat daftar efek-efek, mana positif dan mana yang negatif. Masing-masing saya buat daftarnya. Positif dan negatif.

Yang pasti, daftar ini membuat saya bebas dan merdeka dari ambisi untuk memilih yang paling sempurna.

Ngomong-omong, saya selalu sadar, setiap pilihan pasti ada risiko. Tidak ada yang sempurna. Saya barus sadar, tidak ada pilihan sempurna. Semua efek selalu ada positif dan negatif.

(5) Membuat daftar adalah cara paling sederhana dan melibatkan sisi rasionalitas. Sesuatu yang kita pikirkan dan timbang-timbang dengan akal sehat.

Nah, kalau membuat daftar masih sulit, bagaimana? Biasanya, saya akan melibatkan unsur imajinasi:

(a) Saya akan mengimajinasikan bertemu seseorang yang tak saya kenal sebelumnya. Seseorang yang asing. Yang datang membawa list atau daftar. Dan saya akan memberi nasihat ke dia tentang daftar yang dia bawa. (Ya, daftar itu adalah daftar yang saya buat sebelumnya sih. Haha.)

(b) Kalau masih sulit, saya biasanya juga mengimajinasikan sosok ideal saya. Saya membayangkan sebuah sosok yang menurut saya ideal. Hebat. Sosok sempurna (ingat, tidak ada yang sempurna, hai, SecretNeedWords). Ya! Setelah itu, saya akan meminta nasihatnya. Kira-kira dia akan memilih atau bersikap bagaimana.

(c) Imajinasi tentang saya yang mau mati. Imajinasi tentang saya seolah-olah ada di sakratul maut. Kalau saya milih A, dampaknya apa ketika saya mau mati. Atau kalau memilih B, adakah penyesalan yang muncul ketika saya mau mati.

(d) Imajinasi tentang kiamat. Tentang penghakiman terakhir. Kalau saya milih A, kira-kira Dia akan menghukum saya atau saya akan dapat hukuman apa ya? Kalau milih B, bagaimana ya? Demikian seterusnya. Biasanya saya bahkan sampai ke imajinasi tentang kiamat ini. Hahaha. Singkat kata, apa yang harus saya pilih namun sesuai dengan kehendakNya?

Pertanyaannya, apakah memilih putus dengan pacar atau tidak, harus sampai berimajinasi tentang kiamat? Silakan pilih metode yang menurut kamu pas.

Sekian sharing saya. Terima kasih.

Teman Eks-Satu-SMA

Sejak awal 2017, saya berkarya di bidang marketing. Bukan hanya membawahi marcomm yang urusannya bakar duit untuk keperluan promosi & branding, tapi saya juga ada tugas nyari duit. Dan saya sadar, risiko terbesar bagi seseorang yang berurusan mencari duit adalah turunnya kualitas pertemanan.

Mari saya ceritakan bagaimana risiko terbesar itu muncul dan saya sadari.

Hari ini, banyak peristiwa spesial yang saya alami. (1) Mencari pengganti pembicara event yang tidak bisa hadir; (2) Bertemu teman-teman kantor yang beberapa nama di antaranya dominan dan mengendap di pikiran saya.

Lalu, (3) seseorang teman eks-satu-SMA yang tiba-tiba menyapa di telepon genggam; (4) Fokus pada pekerjaan-pekerjaan yang luar biasa menuntut perhatian: dua MoU, royalti penulis, sertifikasi, urusan event tanggal 7, insentif, GP Ansor (event juga), dan (5) bertemu istri.

Dua peristiwa paling spesial adalah seseorang teman eks-satu-SMA dan peristiwa saya bertemu istri. Tentu saja, yang lain-lain spesial bagi saya karena setiap bertemu orang, saya pasti belajar sesuatu. Belajar hal baru.

Oke, kita fokus pada dua hal spesial. Yang paling spesial di antara keduanya dan memberi pelajaran bagi saya adalah sapaan seorang teman eks-satu-SMA. Pukul 09.42 WIB tiba-tiba dia menyapa.

Sempat beberapa detik terbersit di pikiran untuk mengabaikannya. Tapi, saya bersyukur, bisa segera mengendalikan diri saya untuk tak mengabaikannya. Lalu saya sapa balik satu menit kemudian.

Nah, inilah. Ini yang menarik.

Yang paling menarik dan memberi pelajaran justru peristiwa beberapa detik itu tadi. Niat untuk mengabaikan seseorang teman. Mengabaikan seseorang yang dalam pikiran, saya berasumsi, orang ini tidak akan mendatangkan duit.

Bagaimanapun, kami mengobrol. Dia adalah seorang bankir yang kantornya ada di daerah. Dari hasil mengobrol, saya mendapat informasi: (1) Margin bank semakin tipis dan terjadi perubahan tipikal produk bank; (2) Teman-teman bankirnya banyak yang mengeluh.

Lantas (3) belakangan ini, banyak bank memilih jualan bancassurance untuk mengejar revenue; (4) BPD pun sekarang mulai jualan bancassurance dan sudah mulai fokus pada hitung-hitungan profit.

(5) Sekarang bank lama-lama tak ubahnya agen asuransi dan mengandalkan fee base transaksi; (6) Sekarang, kredit menjadi sangat prudent (susah cair) dan bank lebih suka main aman. Barangkali, profit bank ke depan cenderung mengandalkan fee base income.

Demikianlah saya mendapat info banyak hal dari dia. Saya dan dia sebenarnya mirip. Kami sama-sama fokus pada duit. Profit. Saya tersentuh oleh kebaikannya meluangkan waktu untuk menyapa saya bahkan membagikan informasi di dunia perbankan saat ini.

Entah betul atau tidak informasi yang dibagikannya, bagi saya, sapaan sederhana dari seorang teman adalah anugerah. Risiko terbesar bagi saya yang fokusnya nyari duit barangkali melihat seseorang atau orang lain berdasarkan “keuntungan”.

Singkat kata, kalau tidak hati-hati, saya bisa menjadi orang yang menuhankan uang. Profit menjadi “tuhan” baru. Maka, orang yang bagi saya tidak akan mendatangkan keuntungan, akan saya abaikan. Ini risiko dan bahaya jika saya tak meyadarinya.

Bukan cuma berisiko menurunkan kualitas pertemanan, tapi saya juga akan menjadi seseorang yang melihat orang lain berdasarkan plot-plot tertentu. Orang lain bisa jadi saya ukur dengan apa jabatannya, bisa mendatangkan keuntungan atau tidak, bisa menambah profit perusahaan saya atau tidak, bahkan lebih parah: orang lain hanyalah alat.

Mengerikan!

Terima kasih, teman eks-satu-SMA. Terima kasih atas sapaan sederhana yang membuat saya belajar sesuatu. Salam hormat, semoga selalu sehat untukmu dan keluargamu. Amin.